Musikalisasi
puisi di Indonesia sebenarnya telah tumbuh subur sejak era 80-an.
Seniman-seniman pelopor musikalisasi puisi di tanah air seperti Ferdi
Arsi, Sapardi Djoko Damono, bahkan Emha Ainun Nadjib dapat disebut
sebagai tonggak awal musikalisasi puisi di tanah air. Di ranah yang
berbeda dengan tapi boleh disepakati sebagai salah satu bentuk
musikalisasi puisi adalah semisal Ebiet G. Ade. Penyanyi balada itu
memiliki kebiasaan menulis puisi terlebih dulu sebelum menciptakan
aransemen musik bagi puisinya sebelum matang menjadi sebuah lagu yang
utuh.
Musikalisasi puisi sesungguhnya dapat didesain menjadi
salah satu cara untuk mendekatkan puisi kepada khalayak yang lebih luas,
tidak hanya peminat sastra. Musikalisasi puisi dapat memberi penajaman
makna sehingga dapat membantu masyarakat yang yang tidak berminat pada
sastra akhirnya bisa memahami puisi. Puisi-puisi yang kemudian lebih
populer sebagai lagu masih dapat dikategorikan sebagai musikalisasi
puisi. Para penggemar Iwan Fals yang semula tidak mengenal WS Rendra dan
karyanya akhirnya penasaran untuk membaca karya-karya Rendra. Itu
terjadi ketika puisi Rendra yang berjudul "Kesaksian" dinyanyikan Iwan
Fals bersama Kantata Taqwa pada tahun 1991. Kasus lainnya adalah puisi
"Panggung Sandiwara" karya Taufik Ismail yang dimainkan begitu apik oleh
God Bless di era 70-an. Taufik Ismail pun menulis "Pintu Surga" pada
tahun 2005 yang berhasil dipopulerkan kelompok musik Gigi.