Pendahuluan
Anak-anak sedang Memainkan Angklung di Saung Udjo
Anak-anak sedang memainkan
angklung di Saung Udjo
Angklung merupakan sebuah alat musik tradisional terkenal yang
dibuat dari bambu dan merupakan alat musik asli Jawa Barat, Indonesia.
Dulunya, angklung memegang bagian penting dari aktivitas upacara
tertentu, khususnya pada musim panen. Suara angklung dipercaya akan
mengundang perhatian Dewi Sri (Nyi Sri Pohaci) yang akan membawa
kesuburan terhadap tanaman padi para petani dan akan memberikan
kebahagian serta kesejahteraan bagi umat manusia.
Angklung
yang tertua di dalam sejarah yang masih ada disebut Angklung Gubrag
dibuat di Jasinga, Bogor, Indonesia dan usianya telah mencapai 400
tahun. Sekarang ini, beberapa angklung tersebut disimpan di Museum Sri
Baduga, Bandung, Indonesia.
Dengan berjalannya waktu,
Angklung bukan hanya dikenal di seluruh Nusantara, tetapi juga merambah
ke berbagai negara di Asia. Pada akhir abad ke-20, Daeng Soetigna
menciptakan angklung yang didasarkan pada skala suara diatonik. Setelah
itu, angklung telah digunakan di dalam bisnis hiburan sejak alat musik
ini dapat dimainkan secara berpadu dengan berbagai macam alat musik
lainnya. Pada tahun 1966, Udjo Ngalagena, seorang siswa dari Tuan Daeng
Soetigna mengembangkan angklung berdasarkan skala suara alat musik
Sunda, yaitu salendro, pelog, dan madenda.
Macam-macam Angklung
1. Angklung Kanekes
Angklung di daerah Kanekes (kita sering menyebut mereka Badui)
digunakan terutama karena hubungannya dengan upacara padi, bukan
semata-mata untuk hiburan orang-orang. Angklung digunakan atau
dibunyikan ketika mereka menanam padi di huma (ladang). Angklung ditabuh
ketika orang Kanekes menanam padi; ada yang hanya dibunyikan bebas
(dikurulungkeun), terutama di Kajeroan (Tangtu, Badui Jero), dan ada
yang dengan ritmis tertentu, yaitu di Kaluaran (Baduy Luar). Meski
demikian, angklung masih bisa ditampilkan di luar ritus padi dan tetap
memunyai aturan, misalnya hanya boleh ditabuh hingga masa ngubaran pare
(mengobati padi), sekitar tiga bulan dari sejak ditanamnya padi. Setelah
itu, selama enam bulan berikutnya semua kesenian tidak boleh dimainkan,
dan boleh dimainkan lagi pada musim menanam padi berikutnya. Menutup
angklung dilaksanakan dengan acara yang disebut musungkeun angklung,
yaitu nitipkeun (menitipkan, menyimpan) angklung setelah dipakai.
Dalam sajian hiburan, angklung biasanya diadakan saat terang bulan
dan tidak hujan. Mereka memainkan angklung di buruan (halaman luas di
pedesaan) sambil menyanyikan bermacam-macam lagu, antara lain: "Lutung
Kasarung", "Yandu Bibi", "Yandu Sala", "Ceuk Arileu", "Oray-orayan",
"Dengdang", "Yari Gandang", "Oyong-oyong Bangkong", "Badan Kula",
"Kokoloyoran", "Ayun-ayunan", "Pileuleuyan", "Gandrung Manggu", "Rujak
Gadung", "Mulung Muncang", "Giler", "Ngaranggeong", "Aceukna",
"Marengo", "Salak Sadapur", "Rangda Ngendong", "Celementre", "Keupat
Reundang", "Papacangan", dan "Culadi Dengdang".
Para
penabuh angklung sebanyak delapan orang dan tiga penabuh bedug ukuran
kecil membuat posisi berdiri sambil berjalan dalam formasi lingkaran.
Sementara itu yang lainnya ada yang ngalage (menari) dengan gerakan
tertentu yang telah baku tetapi sederhana. Semuanya dilakukan hanya oleh
laki-laki. Hal ini berbeda dengan masyarakat Badui Dalam, mereka
dibatasi oleh adat dengan berbagai aturan pamali (pantangan, tabu),
tidak boleh melakukan hal-hal kesenangan duniawi yang berlebihan.
Kesenian semata-mata dilakukan untuk keperluan ritual.
Nama-nama angklung di Kanekes dari yang terbesar adalah: indung,
ringkung, dongdong, gunjing, engklok, indung leutik, torolok, dan roel.
Roel yang terdiri dari dua buah angklung dipegang oleh seorang.
Nama-nama bedug dari yang terpanjang adalah: bedug, talingtit, dan
ketuk. Penggunaan instrumen bedug terdapat perbedaan, yaitu di
kampung-kampung Kaluaran mereka memakai bedug sebanyak tiga buah. Di
Kajeroan, kampung Cikeusik, hanya menggunakan bedug dan talingtit, tanpa
ketuk. Di Kajeroan, Kampung Cibeo, hanya menggunakan bedug, tanpa
talingtit dan ketuk.
Di Kanekes yang berhak membuat angklung
adalah orang Kajeroan (Tangtu, Badui Jero). Kajeroan terdiri dari tiga
kampung, yaitu Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Di ketiga kampung ini
tidak semua orang bisa membuatnya, hanya yang punya keturunan dan berhak
saja yang mengerjakannya di samping adanya syarat-syarat ritual.
Pembuat angklung di Cikeusik yang terkenal adalah Ayah Amir (59), dan di
Cikartawana Ayah Tarnah. Orang Kaluaran membeli dari orang Kajeroan di
tiga kampung tersebut.
2. Angklung Dogdog Lojor
Kesenian
dogdog lojor terdapat di masyarakat Kasepuhan Pancer Pangawinan atau
kesatuan adat Banten Kidul yang tersebar di sekitar Gunung Halimun
(berbatasan dengan Sukabumi, Bogor, dan Lebak). Meski kesenian ini
dinamakan dogdog lojor, yaitu nama salah satu instrumen di dalamnya,
tetapi di sana juga digunakan angklung karena kaitannya dengan acara
ritual padi. Setahun sekali, setelah panen seluruh masyarakat mengadakan
acara Serah Taun atau Seren Taun di pusat kampung adat. Pusat kampung
adat sebagai tempat kediaman kokolot (sesepuh) tempatnya selalu
berpindah-pindah sesuai petunjuk gaib.
Tradisi penghormatan padi pada
masyarakat ini masih dilaksanakan karena mereka termasuk masyarakat
yang masih memegang teguh adat lama. Secara tradisi mereka mengaku
sebagai keturunan para pejabat dan prajurit keraton Pajajaran dalam
baresan pangawinan (prajurit bertombak). Masyarakat Kasepuhan ini telah
menganut agama Islam dan agak terbuka akan pengaruh modernisasi, serta
hal-hal hiburan kesenangan duniawi bisa dinikmatinya. Sikap ini
berpengaruh pula dalam dalam hal fungsi kesenian yang sejak sekitar
tahun 1970-an, dogdog lojor telah mengalami perkembangan, yaitu
digunakan untuk memeriahkan khitanan anak, perkawinan, dan acara
kemeriahan lainnya.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian
dogdog lojor adalah dua buah dogdog lojor dan empat buah angklung besar.
Keempat buah angklung ini memunyai nama, yang terbesar dinamakan
gonggong, kemudian panembal, kingking, dan inclok. Tiap instrumen
dimainkan oleh seorang, sehingga semuanya berjumlah enam orang.
Lagu-lagu dogdog lojor di antaranya: "Bale Agung", "Samping Hideung",
"Oleng-oleng Papanganten", "Si Tunggul Kawung", "Adulilang", dan
"Adu-aduan". Lagu-lagu ini berupa vokal dengan ritmis dogdog dan
angklung cenderung tetap.
3. Angklung Gubrag
Angklung
gubrag terdapat di Kampung Cipining, Kecamatan Cigudeg, Bogor. Angklung
ini telah berusia tua dan digunakan untuk menghormati dewi padi dalam
kegiatan melak pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut padi), dan
ngadiukeun (menempatkan) ke leuit (lumbung). Dalam mitosnya angklung
gubrag mulai ada ketika suatu masa Kampung Cipining mengalami musim
paceklik.
4. Angklung Badeng
Badeng merupakan jenis
kesenian yang menekankan segi musikal dengan angklung sebagai alat
musiknya yang utama. Badeng terdapat di Desa Sanding, Kecamatan
Malangbong, Garut. Dulu berfungsi sebagai hiburan untuk kepentingan
dakwah Islam. Diduga badeng telah digunakan masyarakat sejak lama dari
masa sebelum Islam untuk acara-acara yang berhubungan dengan ritual
penanaman padi. Sebagai seni untuk dakwah badeng dipercaya berkembang
sejak Islam menyebar di daerah ini sekitar abad ke-16 atau ke-17. Pada
masa itu penduduk Sanding, Arpaen, dan Nursaen belajar agama Islam ke
Kerajaan Demak. Setelah pulang dari Demak mereka berdakwah menyebarkan
agama Islam. Salah satu sarana penyebaran Islam yang digunakannya adalah
dengan kesenian badeng.
Angklung yang digunakan sebanyak
sembilan buah, yaitu dua angklung roel, satu angklung kecer, empat
angklung indung dan angklung bapa, dua angklung anak, dua buah dogdog,
dua buah terbang atau gembyung, serta satu kecrek. Teksnya menggunakan
bahasa Sunda yang bercampur dengan bahasa Arab. Dalam perkembangannya
sekarang digunakan pula bahasa Indonesia. Isi teks memuat nilai-nilai
Islami dan nasihat-nasihat baik, serta menurut keperluan acara. Dalam
pertunjukannya selain disajikan lagu-lagu, disajikan pula atraksi
kesaktian, seperti mengiris tubuh dengan senjata tajam. Lagu-lagu
badeng: "Lailahaileloh", "Ya’ti", "Kasreng", "Yautike", "Lilimbungan",
dan "Solaloh".
5. Buncis
Buncis merupakan seni
pertunjukan yang bersifat hiburan, di antaranya terdapat di Baros
(Arjasari, Bandung). Pada mulanya buncis digunakan pada acara-acara
pertanian yang berhubungan dengan padi. Tetapi pada masa sekarang buncis
digunakan sebagai seni hiburan. Hal ini berhubungan dengan semakin
berubahnya pandangan masyarakat yang mulai kurang mengindahkan hal-hal
berbau kepercayaan lama. Tahun 1940-an dapat dianggap sebagai
berakhirnya fungsi ritual buncis dalam penghormatan padi, karena sejak
itu buncis berubah menjadi pertunjukan hiburan. Sejalan dengan itu
tempat-tempat penyimpanan padi pun (leuit, lumbung) mulai menghilang
dari rumah-rumah penduduk, diganti dengan tempat-tempat karung yang
lebih praktis, dan mudah dibawa ke mana-mana. Padi pun sekarang banyak
yang langsung dijual, tidak disimpan di lumbung. Dengan demikian
kesenian buncis yang tadinya digunakan untuk acara-acara ngunjal
(membawa padi) tidak diperlukan lagi.
Nama kesenian buncis
berkaitan dengan sebuah teks lagu yang terkenal di kalangan rakyat,
yaitu "cis kacang buncis nyengcle ...". Teks tersebut terdapat dalam
kesenian buncis, sehingga kesenian ini dinamakan buncis.
Instrumen yang digunakan dalam kesenian buncis: dua angklung indung, dua
angklung ambrug, satu angklung panempas, dua angklung pancer, satu
angklung enclok, tiga buah dogdog (satu talingtit, satu panembal, dan
satu badublag). Dalam perkembangannya kemudian ditambah dengan tarompet,
kecrek, dan goong. Angklung buncis berlaras salendro dengan lagu vokal
bisa berlaras madenda atau degung. Lagu-lagu buncis di antaranya:
"Badud", "Buncis", "Renggong", "Senggot", "Jalantir", "Jangjalik",
"Ela-ela", "Mega Beureum". Sekarang lagu-lagu buncis telah menggunakan
pula lagu-lagu dari gamelan, dengan penyanyi yang tadinya laki-laki
pemain angklung, kini oleh wanita khusus untuk menyanyi.
Dari
beberapa jenis musik bambu di Jawa Barat (angklung) di atas, adalah
beberapa contoh saja tentang seni pertunjukan angklung, yakni: angklung
buncis (Priangan/Bandung), angklung badud (Priangan Timur/Ciamis),
angklung bungko (Indramayu), angklung gubrag (Bogor), angklung ciusul
(Banten), angklung dog dog lojor (Sukabumi), angklung badeng
(Malangbong, Garut), dan angklung padaeng yang identik dengan angklung
nasional dengan tangga nada diatonis, yang dikembangkan sejak tahun
1938. Angklung khas Indonesia ini berasal dari pengembangan angklung
Sunda. Angklung Sunda yang bernada lima (salendro atau pelog) oleh Daeng
Sutigna alias Si Etjle (1908—1984) diubah nadanya menjadi tangga nada
Barat (solmisasi) sehingga dapat memainkan berbagai lagu lainnya. Hasil
pengembangannya kemudian diajarkan ke siswa-siswa sekolah dan dimainkan
secara orkestra besar.
Kepustakaan
Kurnia, Ganjar. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Bandung: Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat.
Cara Memainkan Angklung
Seperti
pada umumnya, angklung dimainkan dengan cara digetarkan. Untuk
menghasilkan bunyi yang baik, maka ada beberapa teknik yang dapat
diterapkan sebagai berikut.
Cara Memegang Angklung
Angklung dapat dipegang dengan cara sebagai berikut (ini berlaku untuk yang normal, jika kidal maka diperlakukan sebaliknya):
Tangan kiri bertugas memegang angklung dan tangan kanan bertugas menggetarkan angklung.
Tangan kiri dapat memegang angklung dengan cara memegang simpul
pertemuan dua tiang angklung vertikal dan horisontal (yang berada di
tengah), sehingga angklung dipegang tepat di tengah-tengah. Hal ini
dapat dilakukan baik dengan genggaman tangan dengan telapak tangan
mengahdap ke atas atau pun ke bawah.
Posisi angklung yang
dipegang sebaiknya tegak, sejajar dengan tubuh, dengan jarak angklung
dari tubuh cukup jauh (siku tangan kiri hampir lurus), agar angklung
dapat digetarkan dengan baik dan maksimal.
Tangan kanan selanjutnya memegang ujung tabung dasar angklung (horisontal) dan siap menggetarkan angklung.
Cara Memegang Lebih dari Satu Angklung
Untuk pemain yang memegang lebih dari satu angklung, dapat dilakukan cara memegang angklung sebagai berikut:
Angklung
yang ukurannya lebih besar dipegang tangan kiri pada posisi yang lebih
dekat ke tubuh, baik dengan cara dimasukkan ke dalam lengan (jika
angklung melodi besar atau yang masuk ke dalam lengan pemain) di posisi
lengan bawah, atau dimasukkan ke dalam jari tangan kiri sehingga
angklung sisanya dapat dipegang juga oleh jari tangan kiri lainnya dan
masing-masing angklung dapat dimainkan dengan sempurna dan baik.
Cara Membunyikan Angklung
Angklung digetarkan oleh tangan kanan, dengan getaran ke kiri dan ke
kanan, dengan posisi angklung tetap tegak (horisontal), tidak miring
agar suara angklung angklung rata dan nyaring.
Sewaktu angklung
digetarkan, sebaiknya dilakukan dengan frekuensi getaran yang cukup
sering, sehingga suara angklung lebih halus dan rata.
Meskipun
memainkan angklung bisa sambil duduk, tetapi disarankan pemain memainkan
angklung sambil berdiri agar hasil permainan lebih baik.
Disarankan juga pada saat memulai latihan, dapat dimulai dengan latihan
pemanasan, yaitu membunyikan angklung bersama-sama dengan melatih
nada-nada pendek dan panjang secara bersama selama tiga sampai lima
menit setiap latihan.
Beberapa Cara Memainkan Angklung
Sekurang-kurangnya
terdapat dua cara yang paling umum tentang memainkan alat musik
angklung, yaitu dengan digatarkan dan dipukul (dibunyikan putus-putus
atau centok). Berikut disampaikan bberapa teknik yang dapat dipergunakan
untuk bermain angklung dengan baik.
Menggetarkan Angklung
Angklung dibunyikan dengan digetarkan secara panjang sesuai nilai nada yang dimainkan.
Membunyikan Putus-putus, Dipukul (Centok)
Angklung
tidak digtarkan, melainkan dipukul ujung tabung dasar (horisontal)-nya
oleh telapak tangan kanan untuk menghasilkan centok (seperti suara
pukulan). Hal ini berguna untuk memainkan nada-nada pendek seperti tanda
musik pizzicato.
Tengkep
Angklung dibunyikan dengan
digetarkan secara panjang sesuai nilai nada yang dimainkan, tetapi tidak
seperti biasanya tabung kecilnya ditutup oleh salah satu jari tangan
kiri sehingga tidak berbunyi (yang berbunyi hanya tabung yng besar
saja). Hal ini dimaksudkan supaya dapat dihasilkan nada yang lebih halus
sesui keperluan musik yang akan dimainkan (misalkan untuk tanda
dinamika piano).
Nyambung
Seperti disampaikan oleh
guru angklung diatonis Bapak Daeng Soetigna, maka dianjurkan untuk
membunyikan nada angklung secara nyambung. Hal ini dilkukan dengan
teknik sebagai berikut: bila ada dua nada yang dimainkan secara
berturutan, maka agar terdengar nyambung maka nada yang dibunyikan
pertama dibunyikan sedikit lebih panjang dari nilai nadanya, sehingga
saat nada kedua mulai dimainkan, nada pertama masih berbunyi sedikit,
sehingga alunan nadanya terdengar nyambung dan tidak putus.
Dinamika (keras dan pelan)
Sesuai
kebutuhan lagu, angklung dapat dimainkan pelan (piano) atas keras
(forte). Disarankan untuk kedua jenis dinamika ini sebaiknya frekuensi
getaran angklung per detik tetap sama jumlahnya, sedangkan yang berbeda
adalah jarak ayunan angklung oleh tangan kanan yang selanjutnya akan
menentukan amplituda getaran dan menyebabkan keras atau pelannya lnada
yang dimainkan.
Cara Memainkan Angklung Melodi dan Akompanyemen
Cara
bermain angklung di atas ditujukan untuk angklung melodi. Selain
angklung melodi, terdapat angklung akompanyemen yang terdiri atas nada
akor. Angklung ini dimainkan sesuai akor lagu, dan dapat dimainkan
dengan dua cara, yaitu digetarkan dan ditengkep.
Untuk teknik
memainkan angklung akompanyemen dengan metoda centok (pukul), dapat
dilakukan bersama dengn alat musik bass (bisa bass petik seperti
cello/biola dengan ukuran besar) atau bass pukul (dari tabung angklung
berukuran sangat besar). Teknik memainkannya mengikuti pola ritmik lagu
seperti misalnya poila waltz ( 0 X X) atau mars ( 0X 0X 0X 0X), dengan
keterangan 0 untuk memainkan bass dan X untuk memainkan angklung
akompanyemen.
Sebagai catatan tambahan, umumnya angklung
akompanyemen mayor terdiri atas empat tabung dengan menyertakan nada
septime (7)-nya, sehingga jika dibutuhkn untuk memainkan akor mayor
murni maka nada septimenya sebaiknya tidak dimainkan (ditengkep) sesuai
keperluan lagu.
Angklung ko-akompanyemen adalah angklung
akompanymen dengan susunan nada lebih tinggi satu oktaf. Biasanya
angklung ini dimainkan bersahutan akompanyemen atau bersamaan dengan
angklung akompanyemen, atau dimainkan secara khusus untuk jenis musik
tertentu seperti keroncong.